Meskipun bukan hari Jumat, hari ini aku mau menulis resume kajian bersama Ustadz Hilman Fauzi tanggal 24 Oktober 2020 kemarin. Mumpung hari ini bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW. Tapi resumenya tidak bisa kutulis lengkap, karena kajian kemarin sungguh luar biasa. Aku menangis selama mendengarkan kajian karena terpesona dengan kisah-kisah luar biasa Rasulullah semasa hidupnya.
Untuk mengawalinya, aku akan cerita kejadian kemarin, saat aku mampir ke sebuah tempat jahit untuk memotong gamis. Tukang jahitnya sudah tua, berusia sekitar tujuh puluh tahun.
“Ditunggu saja ya mbak. Daripada bolak balik. Tapi sabar ya. Mata tua ini harus pelan-pelan jahitnya,“ katanya ramah waktu aku menyerahkan gamisku.
“Apa kuambil besok saja Pak?” tanyaku.
“Besok libur mbak, “ jawabnya.
“Oh iya ya. Besok libur. Maulid Nabi, “ aku teringat kalau besok adalah hari libur.
“Iya mbak, ada pengajian di rumah,” kata beliau lagi.
Aku duduk dan mengamati beliau mulai mengukur gamis dan memberi tanda di bagian yang harus dipotong.
“Waah..Maulidan ya Pak?” tanyaku bersemangat.
“Iya mbak. Setahun sekali kok. Mosok tidak dirayakan dengan istimewa kelahiran Kanjeng Nabi kita. Ada pengajian sederhana setiap tahun di rumah, “ jelasnya dengan wajah berbinar.
Mendengarnya mataku panas seketika. Terharu.
Kemudian beliau menceritakan tentang pengajian yang dimaksud. Hanya mengundang para tetangga untuk membaca sholawat dan ditutup dengan makan bersama. Sebelumnya anak-anak di sekitar rumahnya juga diberi makanan ringan beraneka jenis untuk menyenangkan mereka.
Aku jadi teringat isi kajian sabtu kemarin. Tentang Cinta tanpa syarat.
Apa itu tanpa syarat? Cinta yang meskipun tidak mengenal yang dicintai, tidak pernah bertemu, tidak hidup dalam satu jaman, tapi cinta terhadapnya tetap tak terbatas. Tak bersyarat.
Itulah seharusnya yang disebut Unconditional Love kepada Rasulullah. Cinta yang besar sekali kepada beliau. Melebihi cinta kepada siapapun di dunia ini.
Kenapa? Karena cintanya Rasulullah kepada kita juga sungguh tidak terbatas. Beliau mencintai kita bahkan sebelum kita lahir.
Disebutkan kisah suatu hari Rasulullah sedang bersama para sahabat. Beliau berkata bahwa beliau rindu dengan saudara-saudaranya. Para sahabat kebingungan,
“Ya Rasululullah, bukankan kami ini saudaramu? Kami sedang bersamamu sekarang,” Kata salah seorang sahabat.
“Tidak, kalian adalah sahabatku. Aku merindukan saudara-saudaraku,” Rasululullah menjawab.
“Siapa saudaramu itu ya Rasulullah?”
“Saudaraku adalah umatku yang lahir setelah jamanku. Mereka tidak mengenalku. Mereka tidak pernah bertemu denganku, tapi mereka mencintaiku. Sungguh, aku lebih mencintai mereka. Aku merindukan mereka.”
Itulah kita..Yang disebut saudara oleh manusia paling mulia di muka bumi.
Adalah juga kita..yang disebut oleh Rasulullah menjelang beliau wafat. Yang sangat dikhawatirkan oleh beliau baginda Nabi. Kita..Umatnya.
Ummati…ummati...ummati…
Sebuah cinta tanpa syarat yang tidak ada bandingannya.
Kini, mampukah kita mencintai Rasulullah kembali?
Padahal jika kita ingin mencintai dan dicintai oleh Allah, maka syarat pertama dan utamanya adalah dengan mencintai Rasulullah dan mengikuti sunnah-sunnahnya. Dengan mengikuti karakter, sifat, kebiasaan Rasulullah, berarti kita sedang menjadi pribadi yang dicintai oleh Allah”
Yang bisa kita lakukan sekarang adalah, berusaha sekuat tenaga kita untuk menjadi pribadi terbaik yang kita bisa seperti Rasulullah. Apapun peranan kita sekarang. Menjadi guru yang terbaik, karyawan yang terbaik, penulis yang terbaik, pengusaha yang terbaik, bahkan tukang jahit yang terbaik. Terbaik dalam hal ketakwaan pada Rabb Nya. Agar Rasulullah bangga mempunyai umat seperti kita.
Dan hari ini, teringat kembali kakek tukang jahit itu, yang telah menyiapkan acara maulid nabi berbulan-bulan sebelumnya. Siapa tahu beliau sudah menjadi tukang jahit terbaik yang kelak bisa Rasulullah banggakan.
Bagaimana denganku? Aku malu. Saatnya aku juga berbenah. Mulai sekarang.
#OneDayOnePost
#ODOP
#Day53
0 Comments